Masalah Penegakan Cyber Crime di Indonesia






         
     Indonesia sendiri relatif belum aman terhadap ancaman cybercrime. Berdasarkan studi dari Symantec, Indonesia berada pada tingkat 10 tentang aktivitas ancaman di internet, dan berkontribusi 3% kepada kegiatan jahat (malicious) di Asia Pasifik plus Jepang. Sementara itu, kasus cybercrime di Indonesia meningkat dari 520 kasus tahun 2011 ke 600 kasus tahun 2012.  Selain itu, teroris juga telah menggunakan kecanggihan teknologi untuk melaksanakan berbagai pengeboman di seluruh Indonesia seperti di Bali dan Jakarta (Ritz Carlton dan Kedubes Australia). 

      Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cyber crime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak.  Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Untuk menanggulangi masalah cybercrime, Indonesia sudah mempunyai UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan aparat Indonesia juga sudah menggunakan kecanggihan teknologi untuk menjaga keamanan bangsa dan negara, seperti menggunakannya untuk mengakses keberadaan teroris Dulmatin di warung internet sebelum menangkapnya.

Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Brigjen Pol A Kamil Razak "Kejahatan di dunia maya (cyber crime) setiap tahun semakin meningkat. Namun dalam mengusut kasusnya pihak kepolisian masih terbentur sejumlah kendala, seperti perangkat hukum dan sumber daya manusia. Kepolisian pun meminta pemerintah untuk membuat Undang-undang baru terkait informasi dan teknologi (ITE)" Hal ini di ungkapannya pada saat jumpa pers usai Seminar Nasional Indonesia Cyber Crime Summit 2014 di Kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung, Kamis (9/10/2014).

 
 Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cyber crime di Indonesia tidak memuaskan:
*    Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cyber crime.  Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
*       Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
*       Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
*      Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
*    Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah.  Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.





Permasalahan Dalam Penyidikan Terhadap Cyber crime di Indonesia

Adapun hambatan-hambatan yang ditemukan di dalam proses penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:

* Perangkat Hukum yang Belum Memadai

     Lemahnya peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan terhadap pelaku cybercrime, sedangkan penggunaan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHP seringkali masih cukup meragukan bagi penyidik. Oleh sebabitu perlu dibuat undang-undang yang khusus mengatur cybercrime.


* Kemampuan Penyidik
 
       Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kejahatan dunia maya. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh (determinan) adalah:
a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih terbatas.
c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik

       Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.


* Alat Bukti

         Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu sendiri, yaitu:
a. Sasaran atau media cybercrimeadalah data dan atau sistem komputer atau sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang  belum diakui KUHAP sebagai alat bukti yang sah.

b. Kedudukan saksi korban dalam cybercrimesangat penting disebabkan cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain, saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.


* Fasilitas Komputer Forensik

       Untuk membuktikan jejak-jejak para hacker, cracker dan phreackerdalam melakukan aksinya terutama yang berhubungan dengan program-program dan data-data komputer, sarana Polri belum memadai karena belum ada komputer forensik. Fasilitas ini diperlukan untuk mengungkap data-data digital serta merekam dan menyimpan bukti-bukti berupa soft copy, seperti image, program, dan sebagainya. Dalam hal ini Polri masih belum mempunyai fasilitas forensic computing yang memadai. Fasilitas forensic computingyang akan didirikan Polri diharapkan akan dapat melayani tiga hal penting yaitu evidence collection, forensic analysis, expert witness


           Masalah terakhir dan yang terpenting adalah belum sinergisnya kerjasama unit-unit yang bertanggung jawab atas pengelolaan internet. Pemerintah Indonesia mempunyai badan-badan yang bertanggung jawab terhadap kejahatan cyber. Menurut Yono Reksoprodjo, penasihat Panglima TNI bidang C4SIR, pada paparannya kepada peserta Lemhannas PPRA XLIX, penanganan masalah cyber ditangani oleh Kemenkoinfo, Kemristek, dan Lembaga Sandi Negara (cyber threat), Polri dan Kejaksaan (cyber crime), dan Kemhan, TNI, dan BNPB (cyber war). Indonesia juga mempunyai ID-CERT (Indonesia Computer Emergency Response Team)—badan swasta yang mana tugasnya untuk melindungai kliennya dan menjadi point of contact bagi pengguna internet yang diserang oleh “sendmail worm” karena itu hanya bersifat reaktif dan bukan aktif, dan juga ada ID-SIRTII, sebuah badan pemerintah yang pembentukannya berdasarkan Permen 26 tahun 2007 dan bersifat lebih strategis. Namun ID-CERT masih dihadapi dengan masalah lemahnya SDM dan pendanaan karena hanya dikelola oleh perorangan, dan ID-SIRTII, sebagai lembaga resmi pemerintah yang merespon masalah yang berhubungan dengan infrastruktur teknologi, masih dihadapi kendala karena belum bisa mengakses data yang dimiliki CERT negara lain karena Indonesia belum meratifikasi Convention on Cybercrime Treaty. Selain badan ini, banyak badan-badan lain yang bertugas menanggulangi masalah yang relatif sama, seperti Academic CERT, Gov CERT, dan lainnya. Tetapi yang paling memprihatinkan adalah bahwa semua badan ini dihadapi oleh masalah klasik yaitu bahwa semua badan badan ini belum terintegrasi dengan baik.


        Kesimpulannya untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan suatu cyber command, atau sebuah pusat koordinasi yang mengatasi masalah cyber crime (yang dibuat oleh Presiden) untuk membuat perencanaan menyeluruh untuk mengintegrasikan dan mengsinkronisasikan lembaga yang mengatasi masalah cyber crime, termasuk Kemenkominfo, Kemristek, LSN, Kemhan, TNI, BNPB, ID-CERT (swasta/komunitas), ID-SIRTII (pemerintah), serta PPATK yang mengawasi masalah money laundering, serta Bank Indonesia, dengan memperhatikan aktivitas keuangan yang banyak dilakukan secara online. Dalam hal ini Kemenkominfo dapat ditunjuk sebagai koordinator dan sebagai leading sector, atau pengendali cyber command, untuk menanggulangi masalah cyber crime. ID-SIRTII membantu Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal pemberian data lalu lintas internet untuk digunakan sebagai bukti dalam sidang terkait cyber crime. Terakhir, ID-SIRTII membuka jaringan ke luar negeri untuk bekerja sama dengan badan yang menangani cyber crime, seperti Computer Emergency Response Team, mengingat kejahatan cyber crime umumnya adalah lintas negara, melibatkan kriminal atau korban di negara lain.

Nama : Dicky Candra
Nim : 12160241
Nama : Ayu Merlina Lidya
Nim :12160429
Nama : Aprilia Liliefna 
Nim : 12160512 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGERTIAN, MANFAAT DAN JENIS-JENIS JARINGAN KOMPUTER

Pengertian, Fungsi dan Cara Kerja Perangkat Jaringan (Repeater, Bridge, Network Interface Card)

Topologi Jaringan Komputer